Malam Sebelum Dunia Kiamat Tiba

Malam Sebelum Dunia Kiamat Tiba



Gue suka banget ngunjungin tempat-tempat bersejarah dari pada mal atau café. Suatu saat gue dapat kesempatan ikut tour ke Bukittinggi, Sumatera Barat. Kota yang ada di daerah perbukitan itu emang masih asri dan belum begitu banyak polusi. Selain pemandangannya yang memang bagus banget, Bukittinggi ternyata punya tempat wisata bersejarah yang harus dikunjungi oleh orang Indonesia. Selain Jam Gadang, Bukittinggi juga punya Ngarai Sianok dan Gua Jepang. Gue nginep di salah satu hotel yang dekat dengan 3 tempat wisata itu. Pada awalnya sih gue gak merasakan tanda-tanda bakal ngalamin pengalaman yang menyeramkan. Gue sangat menikmati perjalanan tour kali ini. Selain gratis, Bukittinggi adalah salah satu tujuan wisata yang gak biasa.


Gue dan rombongan yang jumlahnya 9 orang udah jalan-jalan ke tempat-tempat wisata di Bukittinggi. Di hari terakhir, agenda tour adalah mengunjungi Gua Jepang. Gue yang belum pernah mengunjungi sebuah gua pun, merasa seneng banget, excited gitu. Gak ada persiapan apa-apa waktu gue dan rombongan masuk ke dalam gua. Tour leader juga gak kasih pesan apa-apa kecuali bilang hati-hati. Dia sendiri gak masuk ke dalam gua, katanya dia sudah sering ke sana. Gue sama rombongan perlahan-lahan masuk ke dalam gua. Tangganya banyak banget. Walaupun ada lampu untuk penerangan, tapi gue tetep berhati-hati menuruni tangga.


Gue mulai merasakan hawa yang gak enak waktu gue masuk ke area dapur. Rasanya seperti ada orang di belakang gue walaupun gak ada orang yang berdiri di belakang gue. Kebetulan gue ada di urutan terakhir waktu masuk ke gua. Gue mulai ngerasain ada hembusan udara dingin dari arah belakang padahal hari itu gak hujan. Waktu rombongan gue berhenti mau foto-foto, gue juga pengen foto-foto. Jadi gue panggillah salah satu temen di rombongan untuk moto gue. Waktu temen-temen gue nengok ke arah gue, mereka semua menjerit ketakutan sampai ada yang lari menjauh dari gue. Gue sendiri jadi ketakutan juga. Waktu gue menoleh ke belakang, ternyata di belakang gue ada sosok raksasa berbadan b“Apa yang akan kau lakukan bila kau tahu malam ini adalah malam terakhir di dunia?”

“Kau benar-benar ingin menanyakan hal itu padaku?”

“Tentu saja.”

“Entahlah—aku tidak pernah memikirkannya.” Wanita itu memutar pegangan teko ke arah suaminya dan meletakkan dua cangkir di atas piring tatakan.

Sang suami menuangkan kopi ke dalam cangkir porselen. Di belakang mereka, dua bocah perempuan tengah bermain dengan balok pasang-pasangan di atas hamparan karpet di ruang keluarga. Cahaya lampu menerangi ruangan tempat mereka berada. Udara malam kini bercampur dengan aroma kopi yang begitu familiar.

“Sebaiknya kau mulai memikirkan jawabannya,” kata sang suami.

“Kau serius?” tanya sang istri.

Pria itu mengangguk.

“Perang?”

Pria itu menggeleng.

“Apakah akan ada bom atom atau hidrogen?”

“Tidak.”

“Perang biokimia?”

“Tidak kesemuanya,” ujar sang suami seraya mengaduk kopinya pelan-pelan dan menatap jauh ke dalam racikan minuman berwarna gelap itu. “Anggap saja akan ada…penutupan buku.”

“Aku tidak mengerti.”

“Aku pun tidak mengerti,” sahut sang suami menanggapi. “Aku hanya merasakannya; dan terkadang perasaan itu membuatku takut, sementara di saat lain aku tidak merasakan takut sama sekali—justru aku merasa damai.”

Pria itu menoleh ke belakang untuk memandangi kedua bocah perempuan yang masih asyik bermain, rambut mereka yang memanjang sampai melewati pundak dan berwarna pirang tampak berkilauan di bawah cahaya lampu neon.

Kemudian ia merendahkan suaranya.

“Aku belum sempat cerita padamu,” bisik sang suami. “Pertanda itu pertama kali mendatangiku sekitar empat hari yang lalu.”

“Pertanda?”

“Aku bermimpi bahwa dunia akan kiamat dan ada sebuah suara yang mengkonfirmasinya. Aku tidak ingat suara itu, tapi aku ingat apa yang dikatakan suara itu: bahwa semua yang ada di muka Bumi akan sirna. Aku tidak terlalu memikirkannya saat aku terbangun dari mimpi itu di pagi hari; namun dalam perjalanan ke kantor, pikiran itu terus menghantuiku. Di kantor, aku tak sengaja melihat Stan Willis menatap keluar jendela dan aku bilang, ‘Kau sedang memikirkan apa, Stan?’ Ia menjawab, ‘Aku bermimpi semalam’—sebelum dia sempat bercerita tentang mimpinya, aku sudah tahu jawabannya. Aku bisa saja menceritakan mimpiku padanya; tapi Stan justru menceritakan mimpinya padaku.”

“Dan kedua mimpi itu identik?” tanya sang istri.

“Ya,” kata sang suami. “Aku katakan kepadanya bahwa aku memimpikan hal yang sama. Tapi Stan malah tampak biasa saja mendengarnya; bahkan ia tampak terlalu santai. Lantas, kami mulai melangkah menyusuri koridor gedung kantor—sekadar untuk iseng. Semua itu tidak direncanakan. Kami tidak memutuskan untuk jalan-jalan di dalam kantor. Kami seolah dibimbing oleh langkah kaki kami. Di mana-mana para pegawai kantor kerjanya hanya menatap meja, tangan atau keluar jendela—namun mereka tak melihat apa yang terhampar di hadapan mereka. Maka aku bicara dengan beberapa orang pegawai, dan Stan melakukan hal yang sama.”

“Dan semua orang memiliki mimpi yang sama?”

“Semuanya. Mimpi yang sama, tak ada perbedaan sedikit pun.”

“Apa kau percaya pada apa yang kau impikan?” tanya sang istri.

“Sangat percaya. Aku tidak pernah merasa seyakin ini terhadap apapun.”

“Lalu kapan dunia akan berhenti?”

“Bagi kita, malam ini; dan di bagian dunia lain menyusul setelah itu. Prosesnya memakan waktu sekitar dua puluh empat jam.”

Sepasang suami-istri tersebut duduk dalam diam untuk sesaat tanpa menyentuh cangkir kopi mereka. Lantas, mereka mengangkat cangkir masing-masing dan menyeruput isinya seraya menatap satu sama lain.

“Apakah kita pantas mendapatkan kehancuran seperti ini?”

“Bukan masalah pantas atau tidak pantas,” jelas sang suami. “Masalahnya, dunia sudah tidak bisa berlanjut. Kulihat kau bahkan tidak berusaha mendebatkan mimpi yang kualami. Kenapa?”

“Kurasa aku punya alasanku sendiri,” ujar wanita itu.esar dengan mata yang merah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *

Back To Top