Mungkin dari kalian sudah tahu tentang cerita seberapa seramnya Lawang Sewu. Atau mungkin banyak dari kalian menganggap bahwa cerita-cerita seram di Lawang Sewu hanya demi kepentingan pariwisata saja, sama seperti yang aku pikirkan, dulu. Jadi ceritanya aku pernah kuliah di salah satu universitas negeri di kota Semarang. Sebagai seorang mahasiswa baru, tentu menjelajah isi kota menjadi hal yang wajib dilakukan. Maka, tujuan utama pun diputuskan, bahwa aku dan beberapa orang teman akan mengunjungi Lawang Sewu, pada malam hari. Beberapa orang mengingatkan agar tidak melakukan hal konyol tersebut, namun aku bersikeras bahwa tidak ada hal yang perlu ditakuti. Dan aku memberi tahu mereka hantu hanyalah sebuah mitos, hasil budaya suatu daerah untuk menambah daya tarik wisata. Merekapun diam.
Selepas Maghrib, kami sudah berkumpul di depan Lawang Sewu. Untuk masuk pada malam hari kau harus ditemani oleh juru kunci (ya, aku anggap ini sebagai ‘bagian’ dari drama tur mengunjungi tempat angker kau harus ditemani oleh sang empu), dan kami pun masuk dengan skeptis. Masuk ke dalam Lawang Sewu aku ditakjubkan oleh kondisi bangunan yang luar biasa indah. Designnya, walau termakan usia, masih cukup terawat dan terpelihara. Mungkin hanya beberapa bagian bangunan yang retak dan cat terkelupas yang menandakan usia. Namun kau masih bisa melihat keagungan arsitektur peninggalan Belanda tersebut.
Setelah beberapa saat masuk ke dalam Lawang Sewu, salah seorang teman kami protes ‘mana setannya nih?’. Sang juri kunci pun kaget dan menyuruhnya untuk tidak berbicara macam-macam. Aku hanya bisa tertawa geli melihat betapa bodohnya orang-orang yang mempercayai mitos. Tidak berapa lama, hawa dingin kemudian menyeruak di sekitar kami. Bulu kudukku berdiri dengan hebat dan merinding. Sang juru kunci menatap kami dengan pandangan ‘apa yang terjadi?’. Aku membalas tatapannya dengan jawaban ‘aku juga tidak tahu?’. Saat ingin keluar dari Lawang Sewu, kakiku terhenti saat melihat sekelebat bayangan wanita lewat di depanku. Walaupun singkat, aku masih bisa melihat wajahnya yang pucat dan kedua bola matanya yang hilang. Dan ia tersenyum kepadaku. Kami berlari. Berlari dengan secepat mungkin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar