Tidak salah, saya adalah seorang mahasiswa tingkat akhir ketika tulisan ini dibuat. Sudah tiga tahun lebih saya menempuh studi di lain kota di mana tempat saya lahir dan dibesarkan. Dulu ketika pertama kali saya menjejakkan kaki di kampus ini, saya mulai hidup prihatin, jauh dari orang tua dan melakukan segalanya secara mandiri. Memang sudah saatnya saya berlaku demikian. Saya bertanya kepada ayah saya yang dulu juga pernah merasakan kuliah dan ia pun melakukan hal yang sama. Betapa ia adalah ayah yang hebat bagi saya, berjuang untuk meraih yang terbaik dari nol hingga menjadi seperti sekarang ini. Ia selalu tegar menghadapi semua itu dan menjalaninya dengan rasa prihatin apa pun keadaannya. Itu semua dicontohkan kepada kami sebagai putra-putra terbaiknya agar bisa menjadi teladan di kemudian hari‘
Saya merasa beruntung mempunyai orang tua yang tegas, selalu membimbing saya ke arah yang benar, meskipun terkadang harus melawan ego. Saya terkadang teringat pesan orang tua untuk selalu hidup sederhana dan tidak bermewah-mewahan. Hampir kurang lebih satu setengah tahun saya beranikan diri untuk pergi ke kampus bolak-balik dengan berjalan kaki setiap hari. Jarak tempat kos dan kampus tidak terlalu jauh, jika dihitung sekitar satu kilometer. Saya tidak pernah mengeluh dengan keadaan ini, karena saya sudah terbiasa. Sejak di jenjang SMP hingga SMA saya selalu mengendarai sepeda onthel setiap hari ke sekolah, meskipun kami mempunyai sebuah sepeda motor.
Perasaan iri melihat teman-teman atau orang lain yang lebih hebat pasti selalu ada. Justru semakin saya melihat perbedaan-perbedaan itu, saya menjadi semakin terbiasa dan berusaha memahami keadaan. Bukan berarti kami adalah orang tak mampu, tetapi lebih kepada moral kebenaran yang harus dijaga. Saya menjadi lebih peka kepada lingkungan sosial, betapa banyak orang yang nasibnya lebih buruk dari kita, sementara orang-orang di sana “sliwar sliwer” tak bertanggung jawab dan adu kehebatan tanpa berkaca diri. Saya kira hal-hal semacam ini sulit dilakukan orang lain, terlebih mereka-mereka yang mudah terpengaruh lingkungan, ibaratnya “buah jatuh pasti tak jauh dari pohonnya”.
Hari demi hari saya jalani dengan segala tantangan, berfokus pada kuliah, mencoba hal-hal baru, dan menata hidup secara seimbang. Berusaha menjauhi sikap bermalas-malasan dan melakukan kegiatan dengan pikiran positif. Semua membuat kehidupan saya lebih berwarna, ada kalanya harus jatuh dirundung duka, juga ada kalanya harus bangga ketika berdiri tegak di puncak. Saya berprinsip bahwa nasib kita ditentukan oleh diri kita sendiri, mana yang harus kita pilah sebagai kebenaran dan mana yang harus dijauhi sebagai kebusukan. Saya tidak perlu melakukan hal yang sama persis dengan sesuatu yang pernah dilakukan orang lain dan juga tidak harus selalu menerima pandangan serta pendapat orang lain.
Lebih baik mencoba menyanggah, meskipun pendapat kita belum tentu benar bagi orang lain. Ini lebih baik daripada kita terpaksa berpangku tangan menerima alasan dan pendapat orang lain. Karena pada dasarnya penyeragaman pandangan yang satu arus rentan akan tindakan konyol yang terkadang dilakukan secara berjamaah. Saya tak perlu menjabarkan lebih jauh tentang ini. Barangkali sudah banyak dicontohkan oleh pemimpin-pemimpin negeri ini yang bersembunyi di balik tirai kepalsuan. Juga pemikiran orang-orang mainstream yang gaya bicaranya tidak lebih dari mengaumkan kemunafikan yang tidak lucu sama sekali.
Jika kita lebih jeli melihat dunia yang lebih luas lagi, salah satu faktor tidak majunya negara ini adalah karena orang-orang kita yang mudah diperalat. Kejeniusan mereka dimanfaatkan orang lain yang dianggap mempunyai derajat lebih tinggi, padahal kita bisa melakukannya sendiri. Faktanya banyak tenaga ahli Indonesia yang hanya dikategorikan ke dalam kelas pekerja. Posisi-posisi seperti CEO, manager, atasan, dsb. yang kastanya lebih tinggi diduduki orang asing, terutama perusahaan-perusahaan asing yang melakukan investasi tanpa pandang bulu di negeri ini. Padahal yang diolah oleh perusahaan-perusahaan tersebut adalah murni hasil kekayaan sumber daya alam Indonesia.
Beberapa waktu yang lalu saya sempat magang di salah satu penyedia ISP. Saya sangat beruntung karena sumber daya manusia yang digunakan di tempat tersebut adalah orang-orang asli Indonesia yang pantang menyerah membangun infrastruktur di bidang kemajuan teknologi. Banyak pelajaran yang saya ambil dari sana, terutama dalam hal suasana bekerja. Tekun, disiplin, dan tidak individualis, semua berusaha melakukan yang terbaik untuk perusahaan. Pimpinan tidak segan untuk berbaur kepada bawahannya, bahkan sulit membedakan mana yang berposisi sebagai pimpinan, karyawan, maupun pekerja fisik. Mungkin inilah yang harus dicontoh oleh para pemuda Indonesia yang nantinya akan meniti karir di dunia kerja.
Saya jadi teringat sebuah lirik lagu terbaru dari Superman Is Dead yang judulnya “Jadilah Legenda”. Akhir-akhir ini, lagu ini adalah lagu penyemangat saya sembari melihat mimpi-mimpi saya ke depan.
Hembus angin yang terasa panas, keringat menetes di dada
Tiada henti kau bekerja keras, berjuang demi cinta
Untuk Indonesia… Jadilah Legenda…
Walau dihancurkan disakiti kau tetap berdiri disini
Untuk Indonesia… Jadilah Legenda…
Kita bisa dan percaya
Darah Indonesia, Akulah halilintarmu
Darah Indonesia, Menggegar tuk selamanya
Darah Indonesia, Walau badai menghadang
Kau takkan pernah menghilang
Bagi saya lirik tersebut mempunyai makna yang luas dan berarti, terutama melihat keadaan Indonesia saat ini. Saya mengartikan lirik tersebut sebagai sebuah citra seorang mahasiswa yang lulus dan mencari kerja demi kemajuan bangsanya. Lulusan mahasiswa seharusnya adalah roda penggerak utama kemajuan suatu bangsa, karena darinya akan muncul generasi pengikut yang juga akan meniru dan melestarikan usaha-usaha pendahulunya. Dibutuhkan orang-orang yang bekerja keras dan selalu semangat dalam menghadapi dunia kerja. Tidak ada lagi kata “malas” untuk mencari-cari alasan. Jika jatuh maka segera bangkit dan lawan rintangan-rintangan di depan. Dengan demikian, suatu saat nanti bangsa kita menjadi bangsa yang kuat, karena sudah sering ditempa untuk pantang menyerah. Untuk semua mahasiswa Indonesia, marilah mulai dari diri kita sendiri menentukan pilihan terbaik untuk kemajuan bangsa kita, kita adalah citra luhur yang dihormati masyarakat, jangan jadi pecundang yang hanya bisa diperalat. Kita adalah legenda, suatu saat nanti…
Sumber gambar :
- https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiQ8c9oxOJeW84J7b-rNsQs2Cd2GthzH3z98TkQK6gCWghzTx8ZKmaaNfv3CZ5Oi55GhIFhHryIPGaGnCb8kkgUfrOft_Sp0ixvJL0uIB7zf0VsICyTBVr9vp-ZeOdkv4xLcrUdzEv6iDs/s400/sepeda-jengki-biru-edit.jpg
- https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgM5NYWDyt3nK3a7uUJjitPXAbMqtFma9OPKbJRhnMsYKHwWrYpcJyBfnvKDvlNk3HDjmaMlMwlxd5uj2AHdThzWqcjH5ltJQS9ahX3elBo9kBQPhYVK-XSE1mXy6ECnu6sC5plY-cu_u4/s400/002.jpg
- http://aiimoet.net/wp-content/uploads/2010/07/pengemis.jpg
Tidak ada komentar:
Posting Komentar